A. SENDI-SENDI YANG MELEKAT PADA NEGARA HUKUM.
1. Adanya asas legalitas dalam tindakan aparatur Negara/pemerintah yang
dapat diper-tanggungjawabkan secara hukum, adanya penghargaan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, adanya peradilan yang
bebas, serta adanya peradilan tata usaha Negara ;
2. Salah satu permasalahan yang banyak disoroti selama ini dan terkait
langsung dengan kepentingan masyarakat sehingga diharapkan
perbaikannya dengan cepat adalah kinerja birokrasi pemerintahan yang
dinilai rendah, terutama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di
birokrasi pemerintahan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat di
berbagai bidang ;
3. Selama ini isue good public governance cenderung lebih ditujukan
kepada pihak eksekutif khususnya dikaitkan dengan kinerja instansi
atau birokrasi pemerintah baik di pusat maupun daerah. Sehingga
dalam hal ini, persoalan good public governance menjadi bagian dari
agenda pemerintah dalam melakukan reformasi birokrasi, yang salah
satu fokusnya adalah memperbaiki kinerja pelayanan publik di
berbagai bidang, termasuk dalam penataan hukum adminstrasi ;
4. Salah satu penyebab terjadinya krisis multidimensi yang kita alami
tersebut adalah karena buruknya atau salah kelola dalam
penyelenggaraan tata kepemerintahan (poor or bad governance), yang
antara lain diindikasikan oleh 3 (tiga) permasalahan utama di dalam
birokrasi pemerintahan yaitu:
a. Terjadinya tindakan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)
JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim
b. Rendahnya kinerja aparatur; dan
c. Rendahnya kinerja pelayanan kepada publik atau masyarakat
5. Ketiga permasalahan tersebut antara lain disebabkan oleh belum
optimalnya penyempurnaan birokrasi secara konsisten dan
berkelanjutan, yang ditandai dengan:
a. Masih lemahnya penerapan prinsip-prinsip good public
governance;
b. Belum diterapkannya sistem manajemen yang berorientasi pada
peningkatan kinerja yang antara lain dimaksudkan untuk
mendukung pelaksanaan berbagai kebijakan pembangunan; dan
c. Masih rendahnya gaji pegawai negeri.
6. Problem yang selama ini terjadi, antara lain:
a. Hukum Administrasi masih dimarginalkan ;
b. Selama ini Administrasi Negara berjalan berdasar kebiasaan
praktek-praktek, tidak atas hukum yang mengatur secara tegas
(hampir semuanya peninggalan Belanda) ;
c. Ironis, sebagai negara hukum, tidak mempunyai hukum
administrasi pemerintahan ;
d. Masyarakat berada dalam posisi lemah dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan ;
e. Maraknya KKN, yang tidak bisa diberantas melalui aspek represif
namun juga harus melalui reformasi birokrasi ;
f. Prinsip-prinsip Good Governance belum menjadi norma hukum
yang dijadikan sebagai dasar Keputusan Administrasi
Pemerintahan.
7. Hal ini semakin mendorong keinginan masyarakat agar RUU
Administrasi Pemerintahan segera direalisasikan, yang mempunyai
manfaat:
JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim
2
a. Pihak yang terlibat berhak didengar pendapatnya sebelum sebuah
keputusan administrasi Pemerintah dibuat ;
b. Pihak yang terlibat memiliki hak untuk mengakses dokumendokumen
administrasi yang disajikan sebagai dasar pembuatan
keputusan administrasi pemerintah ;
c. Pihak yang terlibat berhak mengetahui alasan terkait dengan fakta
dan dasar hukum dalam pembuatan keputusan administrasi
Pemerintahan ;
d. Masyarakat dapat mengajukan upaya administrasi terhadap
keputusan administrasi pemerintahan yang memberatkan atau yang
menurut penilaian masyarakat tidak sesuai dengan fakta dan hukum
yang berlaku ;
e. Undang-undang sekaligus sebagai alat kontrol bagi masyarakat
terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh Pejabat
Administrasi Pemerintahan.
8. Adanya reformasi Hukum Administrasi melalui pengesahan UU
Administrasi Pemerintahan, mempunyai pengaruh terhadap Pejabat
Administrasi Pemerintahan, sehingga:
a. Pejabat Administrasi Pemerintahan lebih berhati-hati dalam
membuat Keputusan Administrasi Pemerintahan, dengan
memperhatikan obyektivitas dan norma hukum yang didasarkan
kepada asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik ;
b. Adanya tanggung jawab Pejabat Administrasi selama dan setelah
menjabat ;
c. Adanya dasar hukum untuk menetapkan Keputusan Administrasi
Pemerintahan sekaligus sebagai instrumen pelindung hukum bagi
pejabat yang bersih dari tindakan melanggar hukum, dan
sebaliknya juga menyebabkan timbulnya sanksi administratif bagi
pejabat administrasi pemerintahan yang melanggar hukum, yang
JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim
3
berakibat pada antara lain penundaan kenaikan pangkat,
pemberhentian dengan tidak hormat, bila ada unsur perdata/pidana
dapat diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
B. MEMBANGUN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD
PUBLIC GOVERNANCE) DALAM KERANGKA TERCIPTANYA
UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN.
1. Di dalam good governance terdapat tiga komponen atau pilar yang
terlibat, yaitu:
a. Good public governance yang merujuk pada lembaga pemerintahan
(legislatif, eksekutif, dan yudikatif), sehingga dapat diartikan
sebagai tata pemerintahan yang baik di lembaga-lembaga
pemerintahan ;
b. Good corporate governance yang merujuk pada dunia usaha
swasta, sehingga dapat diartikan sebagai tata kelola perusahaan
yang baik ;
c. Civil society atau masyarakat sipil yang dapat mendukung
terwujudnya good governance dan terutama good public
governance .
2. Karena itu, good public governance dapat diwujudkan apabila terjadi
keseimbangan peran dari ketiga pilar yaitu pemerintah, dunia usaha
swasta, dan masyarakat. Ketiganya mempunyai peran masing-masing.
Pemerintah (legislatif, eksekutif, yudikatif) memainkan peran
menjalankan dan menciptakan lingkungan politik dan hukum yang
kondusif bagi terwujudnya good pubic governance dan memberikan
peluang terbangunnya komponen lain dalam governance yaitu dunia
usaha dan masyarakat ;
3. Dunia usaha swasta berperan dalam penciptaan lapangan kerja dan
peningkatan pendapatan masyarakat. Sedangkan masyarakat berperan
JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim
4
dalam penciptaan interaksi sosial, ekonomi dan politik, berperan aktif
ikut mengawasi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, serta
berpartisipasi aktif mendukung pengembangan demokrasi dan
akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara.
4. Bila dijabarkan lebih lanjut, prinsip-prinsip dalam good public
govenance dapat diidentifikasi menjadi 14 (empat belas) prinsip, yaitu:
wawasan ke depan (visioning), keterbukaan atau transparansi
(transparency), partisipasi masyarakat (people participation),
supremasi hukum (rule of law, law enforcement), akuntabilitas
(tanggung gugat, tanggung jawab, accountability), demokrasi,
profesionalisme dan kompetensi, daya tanggap, efisiensi dan
efektifitas, desentralisasi, kemitraan dengan dunia usaha dan
masyarakat, komitmen pada pengurangan kesenjangan, komitmen pada
lingkungan hidup, dan komitmen pada pasar yang fai ;
5. Dari keempat belas prinsip tersebut, terdapat 4 (empat) prinsip utama
yang sudah sangat dikenal dan menjadi acuan selama ini, yaitu prinsip:
transparansi (transparancy), penegakan hukum (law enforcement atau
rule of law), partisipasi masyarakat (people participation) dan
akuntabilitas atau tanggung gugat (accountability) ;
6. Melalui UU Administrasi Pemerintahan diharapkan hal ini akan
terwujud. Sesuai dengan tujuan UU AP yaitu:
a. Menciptakan Tertib Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan ;.
b. Menciptakan Kepastian Hukum ;
c. Mencegah Terjadinya Penyalahgunaan Wewenang ;
d. Menjamin Akuntabilitas Badan atau Pejabat Pemerintah ;
e. Memberikan Perlindungan Hukum kepada Masyarakat & Aparatur
Pemerintah ;
f. Menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik ;
g. Memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat
JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim
5
C. SECARA UMUM, YANG PERLU DILAKUKAN DALAM RANGKA
PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD PUBLIC GOVERNANCE,
ADALAH SEBAGAI BERIKUT:
1. Meningkatkan komitmen pimpinan dan staf.
Peningkatan komitmen untuk mewujudkan good public governance
merupakan agenda yang cukup penting. Komitmen ini harus
diwujudkan secara nyata melalui berbagai upaya, antara lain perbaikan
kualitas hasil kerja; perubahan mindset; penerapan sistem manajemen
yang berorientasi kinerja, dan penerapan reward and punishment secara
konsisten, transparan dan adil; serta meningkatkan kompetensi
aparaturnya.
2. Menyusun rencana tindak.
Penyusunan rencana tindak secara rinci, terukur dan aplikatif perlu
segera dilakukan dan dimonitor serta dievaluasi secara berkala. Selama
ini, banyak rencana tindak yang telah disusun tidak begitu jelas baik
dari tujuan, sasaran dan implementasinya, sehingga hasil yang dicapai
belum sesuai dengan yang diharapkan. Namun tidak tertutup
kemungkinan sudah ada rencana tindak yang baik, tetapi terhambat
oleh lemahnya kemauan untuk melaksanakanya.
3. Menerapkan prinsip-prinsip good public governance secara konsisten
dan berkelanjutan baik dalam jangka menengah maupun jangka
panjang.
Prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan melalui: penyempurnaan
manajemen yang berorientasi pada peningkatan dan promosi pegawai
sesuai dengan kecakapan dan kemampuannya, serta penerapan sistem
pemberian penghargaan (reward) kepada aparatur yang berkinerja baik
dan hukuman atau sanksi (punishement) bagi aparatur yang berkinerja
buruk.
JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim
6
4. Memberdayakan pihak-pihak yang terkait (stakeholders).
Pemberdayaan perlu dilakukan kepada stakeholders baik dari
lingkungan masyarakat, pengusaha maupun pemerintahan (legislatif,
eksekutif, yudikatif) agar terbangun komitmen untuk mewujudkan
good public governance.
5. Melakukan evaluasi secara berkala.
Melakukan evaluasi secara berkala terhadap program-program yang
telah dan sedang dilakukan untuk menilai kemajuan pelaksanaan
program pembangunan good public governance. Hal ini merupakan
syarat mutlak yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk untuk
menuju good public governance dalam birokrasi pemerintah daerah.
D. PEJABAT BERWENANG MEMBUAT KEPUTUSAN
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN.
1. Sumber Kewenangan (Pasal 5 RUU AP)
a. ATRIBUSI
Kewenangan yang diperoleh dari atau diatur dalam peraturan
perundang-undangan
b. DELEGASI
Pelimpahan tugas, wewenang dan tanggung jawab membuat
keputusan dari pejabat/badan kepada pihak lain atas tanggung
jawab sendiri (penerima pendelegasian)
c. MANDAT
Pelimpahan tugas dan wewenang membuat keputusan dari
pejabat/badan kepada pihak lain MINUS TANGGUNG JAWAB.
JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim
7
2. Kewenangan Diskresi (Pasal 6 RUU AP)
Diskresi adalah Kewenangan pejabat/badan pemerintah yang
memungkinkan untuk melakukan pilihan dalam mengambil tindakan
hukum atau tindakan faktual dalam administrasi pemerintahan.
Dalam mengambil keputusan wajib mempertimbangkan tujuan
diskresi, perundang-undangan yang menjadi dasar diskresi dan azasazas
umum pemmerintahan yang baik.
Pejabat yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan
keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan
akibat diskresi (pasal 6 RUU-AP).
Keputusan atau tindakan diskresi pejabat/badan pemerintahan dapat
diuji melalui upaya administratif dan atau gugatan di peradilan TUN.
E. UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM PREVENTIF DALAM RUU
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN.
1. Pihak-pihak yang berkepentingan (Bab IV)
Dengar pendapat pihak yang berkepentingan (Pasal 18)
Asas demokrasi transparansi
Potensi meminimalkan upaya administrasi dan gugata TUN
2. Upaya Perlindungan Hukum Represif
a. Upaya administrasi
b. Gugatan ke PTUN
3. Upaya Administrasi (bab VI)
a. Informasi tentang upaya administrasi (Pasal 36 ayat 3)
b. Batas waktu pengajuan upaya administratif 30 hari sejak
diumumkan (Pasal 39)
JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim
8
c. Pengambilan keputusan 15 hari (Pasal 38)
Ratio legis: – mengoptimalkan penyelesaian sengketa oleh
instansi pemerintah sendiri
– peradilan sebagai ultimum remedium
potensial meminimkan gugatan TUN
4. Gugatan ke PTUN
Pasal 39: gugatan terhadap keputusan upaya Administratif
F. PENUTUP
Dengan demikian, membangun good public governance merupakan
program strategis yang harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan
serta memerlukan dukungan semua pihak termasuk dari kalangan
perguruan tinggi.

Posted by: bagusteddy | January 11, 2010

Mendorong Implementasi Regulasi Anti – Trafficking

Pada bulan April 2007, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Selanjutnya pada tanggal 6 Nopember tahun 2008 telah disahkan Peraturan Presiden Rl Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana implementasi UU dan PP tersebut ?

Inilah tantangan kita bersama, sebab UU dan PP tersebut baru akan ada manfaatnya atau dapat membantu menyelesaikan persoalan perdagangan orang di negeri ini jika dapat diimplementasikan dengan baik oleh semua pihak terkait. Harus diakui betapa saat ini perdagangan perempuan dan anak sudah semakin meluas di negara kita untuk diperdagangkan ke Luar Negeri maupun di kota-kota besar, seperti Surabaya, Semarang, Jakarta, Bandung, Medan, dan sebagainya. Statistik Dunia menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang menjadi korban praktek perdagangan adalah perempuan dan anak. Sehingga ketika kita berbicara tentang upaya mencegah dan atau menolong korban perdagangan orang, maka perhatian kita lebih tertuju pada upaya menolong perempuan dan anak.
Merujuk pada UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ( PTPPO) yang dimaksud perdagangan orang adalah : tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi ( Pasal 1 ayat I ).

Selama ini Jawa Timur diyakini merupakan salah satu kantong perdagangan orang ke luar negeri. Kantong-kantong tersebut di antaranya adalah Kabupaten Banyuwangi, Jember, Malang, Blitar, Tulungagung, Nganjuk, dan Ngawi. Jalur perdagangan orang yang bertransit dan atau berasal dari Jawa Timur ini melewati dua pelabuhan, yakni Tanjung Perak Surabaya dan Bali. Tanjung Perak merupakan jalur untuk menuju negara-negara Asia seperti Malaysia, Hong Kong, Korea, dan Arab Saudi. Adapun Pelabuhan di Bali dipakai menyelundupkan perempuan ke negara-negara Eropa. Setidaknya ada 4 (empat) unsur dalam praktik perdagangan orang yang meliputi :

  1. Adanya proses yakni pemindahan tempat, transportasi, transfer, dll.
  2. Adanya cara yakni paksaan, penipuan, kecurangan, dll.
  3. Adanya korban yakni orang yang menjadi objek perdagangan.
  4. Adanya Pelaku yakni orang yang mendapatkan keuntungan atas transaksi perdagangan tersebut (baik   materi maupun immateri).
Bentuk Perdagangan Orang
Ada beberapa bentuk perdagangan orang yang terjadi pada perempuan dan anak :
Pertama, kerja paksa dan eksploitasi seks: ini untuk konsumsi baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, misalnya sebagai PRT, pekerja restoran, penjaga toko atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian yang lain; tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, beberapa perempuan memang tahu bahwa mereka akan dimasukkan ke jaringan industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja yang berbeda dengan yang dijanjikan sebelumnya dan mereka dikekang di bawah paksaan tertentu dan tidak diperbolehkan menolak bekerja.

Kedua
, Pembantu rumah tangga (PRT) Modusnya : korban dipaksa berkerja sebagai PRT dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk: jam kerja yang sangat panjang, penyekapan pada tempat-tempat yang membuat korban tersiksa, upah yang tidak sepadan (tidak sesuai kesepakatan), bahkan tidak dibayar pada kurun waktu tertentu, atau dibayar namun dipotong dalam jumlah tertentu, terjebak jeratan hutang yang direkayasa, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lainnya untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.

Ketiga
, Bentuk lain dari kerja migran: misalnya bekerja di pabrik, restran atau toko kecil, beberapa dari buruh migran ini dipaksa bekerja dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan dan kekerasan.
Keempat, Penari, penyanyi dan pertukaran budaya: terutama diluar negeri, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai duta budaya, penyanyi atau penghibur di negara asing, pada kenyataannya banyak dari mereka dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.

Kelima
, Pengantin pesanan: terutama di luar negeri, beberapa perempuan dan anak yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu melalui cara perkawinan. Modusnya: para perempuan diperkenalkan dengan lelaki asing yang akan memperisteri dia. Dalam perjalanan setelah menjadi suami-isteri, para suami mereka memaksa istri-istri baru itu untuk bekerja keras untuk keluarganya, dan karena diikat melalui perkawinan maka sudah barang tentu perempuan-perempuan tersebut harus melayani kebutuhan seks suami (baik secara senang hati maupun terpaksa), dan mereka berada dalam suatu konfigurasi hubungan sosial yang tidak sehat/sepadan (kondisinya mirip perbudakan). bahkan jika suami telah bosan maka suami akan menjual isteri mereka ke industri seks.

Keenam
, Buruh/pekerja anak: beberapa anak yang berada di jalanan dipaksa oleh sekelompok orang (yang mengaku pemimpinnya) untuk melakukan suatu pekerjaan, misalnya meng-emis, mencari ikan di lepas pantai, bekerja di perkebunan, dan jenis-jenis pekerjaan yang lain. Mereka dipaksa bekerja dan menyetorkan hasil kerjanya kepada pemimpin tersebut.

Ketujuh
, Penjualan bayi: Beberapa buruh migran Indonesia (misalnya:TKW) ditipu dengan perkawinan palsu dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi secara ilegal.

Pelaku dan Korban
Orang, beberapa pihak yang berpotensi menjadi pelaku setidaknya adalah sebagai berikut :

  1. Penyelenggara Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS): dulu bernama PJTKI.
  2. Agen/calo tenaga kerja.
  3. Aparat pemerintah, jika memalsukan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran, dan memfasilitasi penyeberangan melintasi perbatasan secara ilegal.
  4. Majikan, jika menempatkan pekerja secara eksploitatif, tidak membayar gaji secara proporsif, menyekap pekerja, melakukan kekerasan seksual, kekerasan fisik, memaksa terus bekerja atau menjerat pekerja dengan hutang.
  5. Pemilik atau pengelola rumah bordil.
  6. Orang tua ataupun sanak saudara dapat dianggap sebagai pelaku manakala mereka secara sadar menjual anak atau saudarannya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau pihak lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka dengan penghasilan yang akan diterima oleh anak/saudara mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi hutangnya dan menjerat anaknya untuk menjadi alat barter dalam penyelesaian masalah, misalnya untuk keluar dari lilitan hutang.
  7. Suami juga bisa menjadi pelaku, jika ia menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim atau memberi kesempatan atau memaksa isterinya untuk bekerja di suatu tempat demi keuntungan ekonomi. Misalnya menempatkannya dalam status budak yang harus bekerja keras dalam kendalinya atau memaksanya melakukan prostitusi.

Sementara yang berpotensi menjadi korban perdagangan orang tidak pandang bulu, siapa saja (setiap orang) dapat menjadi korban perdagangan khususnya perempuan dan anak diantaranya : Anak-anak jalanan, Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai pengetahuan/ informasi yang benar mengenai pekerjaan yang akan dipilihnya, Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang sedang menjadi pengungsi, Perempuan dan anak miskin di kota-kota besar atau di pedesaan, Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan antar Negara, Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang, Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, Perempuan yang menjadi korban perkosaan, Dll. Tidak dapat dipungkiri bila kelahiran UU-PTPPO membawa harapan baru akan kehidupan hari esok yang lebih baik, yang diindika-sikan oleh efektifnya pemberan-tasan tindak pidana perdagangan orang, yang juga berarti berkura-ngnya (dapat diminimalkannya) jumlah korban perdagangan orang (terutama dari kalangan perempuan dan anak).

Sumber : Koran Bhirawa, Kolom 2-5 hal 4, 24 Maret 2009, Surabaya.
* Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Provinsi JawaTimur.

Posted by: bagusteddy | January 11, 2010

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Categories